SENYUMNYA mengembang saat siapapun menyapa atau sekedar melirik senyum kepadanya. tak sedikitpun ia tahan atau menampakkan rasa keterpaksaan. ada segurat makna diantara lesung pipi mungil dari seorang bocah kampung tak ber-ayah itu.
kuperhatikan lekat tubuhnya, tak satupun pita atau jepit ala gadis kecil lain yang bertengger di rambutnya, hanya seuntai karet gelang yang selalu mengikat erat mejadi satu juntaian tepat di belakang kepala. tangan kakinya gempal bak milik para tukang pukul. bahunya bidang, lengannya berotot dapat menandakan kerasnya hidup yang ia jalani. dialah salah seorang temanku, teman yang telah mengisi segores cerita masa kecilku. tepatnya ketika kami di pertemukan di sebuah gedung lembaga pendidikan sekolah dasar tua dan usang di sebuah kampung udik di ujung jalan besar ini.tak banyak orang yang mengenal namanya, karena selain sejatinya ia amat pendiam ia juga cenderung menutup diri. tak suka pada keramaian huru hara atau teriakan teriakan tawa bocah berumur pantaran 8 tahunan lainnya.
dia lebih tertarik untuk berdiam diri dengan mengotak atik sesuatu di dalam kelas di kursi panjang pojok belakang. ntah apa yang ada di dalam fikirannya kala itu.
sorot matanya tajam, bulu matanya lentik dan alis nya yang tebal menjadikannya semakin sedap dipandang.
pembawaannya tenang. dia tipikal orang yang penyabar
hidupnya tak seenak para bengsawan, perjuangan hidupnya juga tak semudah anak jendral. karna dia hanyalah pendawai kecil yang tak punya apa apa. terlahir dari rahim janda miskin yang sial termakan nasib. ayahnya telah pergi entah dirantau mana, kabarnya tak sejelas badai. mati atau hidup kah ia tak ada yang tahu. hanya 2 orang titipan tuhan yang ia tinggalkan kepada wanita kampung yang kian hari kian menua. banyak kabar mengatakan ayahnya telah beristri lagi di negri orang. bertahun tahun pergi tanpa pesan telah membuat ia dan ibunya jenuh menunggu. terutama kakak lakinya, tak lagi ia terbesit tentang kabar ayahnya. bahkan seksama bila ada yang bertanya tentang keberadaan ayahnya dengan lantang menjawab
"bapak telah di neraka tuhan! mati dimakan buaya"
terlihat benar sakit hati yang telah dibuat oleh ayah 2 adik berkakak ini.
sekarang hidup mereka tergantung pada rupiah keringat ibunya. kakak lakinya tak lagi melanjutkan sekolah, uang sekolah telah beralih untuk menyambung nyawa mereka bertiga. hanya tinggal temankulah yang menjadi harapan. walau dengan segudang kekurangan semangatnya tak lenyapkan ambisinya untuk sekolah.
jarak tempuh puluhan kilo yang ia capai dengan sepeda reot tak urungkan niatnya untuk menuntut ilmu. demi meningkaatkan derajad keluarga yang telah terdzolimi oleh seorang pria tak bernurani.
sepeda usang itu adalah peninggalan almarhumah neneknya, tak heran bila ia merawat dengan hati. sepeda itu jugalah sarana satu satunya menuju sekolah yang jaraknya tak terbilang dekat. jalan yang dilaluinya pun tak semulus jalan para petinggi di kota kota. ia harus melalui jalan berbatu tajam, lubang lubang dalam, jalan setapak berpasir yang apabila hujan bak macam tanah lumpur yang becek tak tertolong. tak hanya itu, terdapat beberapa tanjakan curam di sebelah jurang dalam yang siap memangsa sepeda tanpa rem tersebut. maka tak ayal bahwa ia selalu menuntun sepedanya ketika melewati jalanan maut itu.
tak ada listrik. maka tak ada sebutir neon pun yang bergelantung di atap rumahnya. gelap gulita telah menjadi teman baiknya sejak lahir. hanya lampu minyak yang sesekali menghangatkan keluarga kecilnya di tengah beku nya malam. itupun tak bisa setiap hari dinyalakan karena harga minyak tanah pun kian melambung.
wajar saja tak ada listrik yang menjangkau. rumahnya terpencil ditengah hutan. tak ada jalan raya, tak ada got aliran air ataupun tempat tampat umum. karna disana hanya berteman dengan 7 bongkah bangunan yang saling berhadapan. 3 diantaranya telah menjadi rumah kosong sekian tahun lalu. hanya tersisa 4 bangunan berpenghuni yang hidup rukun antar sesama pemiliknya.saling mambantu, saling memberikan semangat, saling berbagi susah. karna pada kenyataannya mereka sama sama orang melarat.
mereka hidup bak kala zaman purba, tanpa penerang, tanpa teknologi, dan tanpa sedikitpun pengaruh globalisasi. perbedaan hanya terletak pada pakaian yang mereka kenakan sudah terbuat dari kain, sudah mengenal uang, sekolah, dan rumah dari bata dan semen-walau tak layak huni-
kampung di tengah rimba itu, yang jauh nan terpencil itu, yang tak sedikitpun ter'lirik' oleh pemerintah, yang hanya segolongan kecil yang mengetahuinya dinamakan kampung betina. entah apa yang mendasari penamaan kampung itu seperti nama gender. kuperkirakan dahulu dipenuhi oleh kaum hawa yang rela setengah hati menempati kampung nan udik itu.
dan nyatanya kini, wanita pun lebih mendominasi keberadaannya. mereka adalah para wanita wanita tangguh tak terkalahkan, para pejuang hidup yang layak di anugerahi apresiasi setinggi mungkin, para solihah yang tak terbandingkan dengan wanita di negri manapun...
bersambung-
Read more...
kuperhatikan lekat tubuhnya, tak satupun pita atau jepit ala gadis kecil lain yang bertengger di rambutnya, hanya seuntai karet gelang yang selalu mengikat erat mejadi satu juntaian tepat di belakang kepala. tangan kakinya gempal bak milik para tukang pukul. bahunya bidang, lengannya berotot dapat menandakan kerasnya hidup yang ia jalani. dialah salah seorang temanku, teman yang telah mengisi segores cerita masa kecilku. tepatnya ketika kami di pertemukan di sebuah gedung lembaga pendidikan sekolah dasar tua dan usang di sebuah kampung udik di ujung jalan besar ini.tak banyak orang yang mengenal namanya, karena selain sejatinya ia amat pendiam ia juga cenderung menutup diri. tak suka pada keramaian huru hara atau teriakan teriakan tawa bocah berumur pantaran 8 tahunan lainnya.
dia lebih tertarik untuk berdiam diri dengan mengotak atik sesuatu di dalam kelas di kursi panjang pojok belakang. ntah apa yang ada di dalam fikirannya kala itu.
sorot matanya tajam, bulu matanya lentik dan alis nya yang tebal menjadikannya semakin sedap dipandang.
pembawaannya tenang. dia tipikal orang yang penyabar
hidupnya tak seenak para bengsawan, perjuangan hidupnya juga tak semudah anak jendral. karna dia hanyalah pendawai kecil yang tak punya apa apa. terlahir dari rahim janda miskin yang sial termakan nasib. ayahnya telah pergi entah dirantau mana, kabarnya tak sejelas badai. mati atau hidup kah ia tak ada yang tahu. hanya 2 orang titipan tuhan yang ia tinggalkan kepada wanita kampung yang kian hari kian menua. banyak kabar mengatakan ayahnya telah beristri lagi di negri orang. bertahun tahun pergi tanpa pesan telah membuat ia dan ibunya jenuh menunggu. terutama kakak lakinya, tak lagi ia terbesit tentang kabar ayahnya. bahkan seksama bila ada yang bertanya tentang keberadaan ayahnya dengan lantang menjawab
"bapak telah di neraka tuhan! mati dimakan buaya"
terlihat benar sakit hati yang telah dibuat oleh ayah 2 adik berkakak ini.
sekarang hidup mereka tergantung pada rupiah keringat ibunya. kakak lakinya tak lagi melanjutkan sekolah, uang sekolah telah beralih untuk menyambung nyawa mereka bertiga. hanya tinggal temankulah yang menjadi harapan. walau dengan segudang kekurangan semangatnya tak lenyapkan ambisinya untuk sekolah.
jarak tempuh puluhan kilo yang ia capai dengan sepeda reot tak urungkan niatnya untuk menuntut ilmu. demi meningkaatkan derajad keluarga yang telah terdzolimi oleh seorang pria tak bernurani.
sepeda usang itu adalah peninggalan almarhumah neneknya, tak heran bila ia merawat dengan hati. sepeda itu jugalah sarana satu satunya menuju sekolah yang jaraknya tak terbilang dekat. jalan yang dilaluinya pun tak semulus jalan para petinggi di kota kota. ia harus melalui jalan berbatu tajam, lubang lubang dalam, jalan setapak berpasir yang apabila hujan bak macam tanah lumpur yang becek tak tertolong. tak hanya itu, terdapat beberapa tanjakan curam di sebelah jurang dalam yang siap memangsa sepeda tanpa rem tersebut. maka tak ayal bahwa ia selalu menuntun sepedanya ketika melewati jalanan maut itu.
tak ada listrik. maka tak ada sebutir neon pun yang bergelantung di atap rumahnya. gelap gulita telah menjadi teman baiknya sejak lahir. hanya lampu minyak yang sesekali menghangatkan keluarga kecilnya di tengah beku nya malam. itupun tak bisa setiap hari dinyalakan karena harga minyak tanah pun kian melambung.
wajar saja tak ada listrik yang menjangkau. rumahnya terpencil ditengah hutan. tak ada jalan raya, tak ada got aliran air ataupun tempat tampat umum. karna disana hanya berteman dengan 7 bongkah bangunan yang saling berhadapan. 3 diantaranya telah menjadi rumah kosong sekian tahun lalu. hanya tersisa 4 bangunan berpenghuni yang hidup rukun antar sesama pemiliknya.saling mambantu, saling memberikan semangat, saling berbagi susah. karna pada kenyataannya mereka sama sama orang melarat.
mereka hidup bak kala zaman purba, tanpa penerang, tanpa teknologi, dan tanpa sedikitpun pengaruh globalisasi. perbedaan hanya terletak pada pakaian yang mereka kenakan sudah terbuat dari kain, sudah mengenal uang, sekolah, dan rumah dari bata dan semen-walau tak layak huni-
kampung di tengah rimba itu, yang jauh nan terpencil itu, yang tak sedikitpun ter'lirik' oleh pemerintah, yang hanya segolongan kecil yang mengetahuinya dinamakan kampung betina. entah apa yang mendasari penamaan kampung itu seperti nama gender. kuperkirakan dahulu dipenuhi oleh kaum hawa yang rela setengah hati menempati kampung nan udik itu.
dan nyatanya kini, wanita pun lebih mendominasi keberadaannya. mereka adalah para wanita wanita tangguh tak terkalahkan, para pejuang hidup yang layak di anugerahi apresiasi setinggi mungkin, para solihah yang tak terbandingkan dengan wanita di negri manapun...
bersambung-